Setiap kali pemerintah membuka seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), selalu ada kecemasan dan harapan di kalangan masyarakat, terutama mereka yang bermimpi untuk bekerja di instansi pemerintah. Namun, di balik momen besar ini, ada fenomena yang tak kalah menarik, yaitu fenomena pejabat yang "main lotre" dengan kesempatan CPNS. Istilah "main lotre" di sini bukan berarti bermain di pasar perjudian erek erek, melainkan menggambarkan situasi di mana pejabat atau pihak tertentu berusaha memanfaatkan celah dan kesempatan dalam seleksi CPNS untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Tentu, ini menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan transparansi dalam proses seleksi yang seharusnya fair dan terbuka.
Salah satu masalah yang kerap muncul adalah praktik "titipan" dalam seleksi CPNS, di mana pejabat atau orang-orang yang berkuasa mencoba memasukkan calon-calon tertentu yang tidak mengikuti prosedur yang sah. Praktik ini, meski sering disinggung dalam pemberitaan, tetap saja menjadi masalah yang sulit diberantas. Setiap kali proses seleksi CPNS dibuka, banyak pihak yang berharap bisa memanfaatkan "lotre" ini, memanfaatkan kekuasaan untuk menentukan siapa yang lolos dan siapa yang tidak, bukan berdasarkan kemampuan atau kelayakan. Fenomena ini mengaburkan tujuan utama seleksi CPNS, yakni merekrut pegawai yang kompeten dan profesional.
Fenomena "main lotre" ini tentu merugikan banyak pihak, terutama mereka yang memiliki kualitas dan kemampuan, namun tidak memiliki koneksi atau pengaruh. Banyak calon pelamar yang telah bekerja keras mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi, namun mereka harus bersaing dengan mereka yang hanya mengandalkan jalur titipan atau "bokingan" dari pejabat tertentu. Hal ini menciptakan ketidakadilan, dan bahkan bisa menurunkan kualitas SDM di pemerintahan, karena pejabat yang tidak sesuai dengan kualifikasi atau kompetensi yang dibutuhkan tetap bisa lolos hanya karena permainan kekuasaan.
Di sisi lain, ada juga upaya untuk memperbaiki sistem seleksi CPNS, dengan menggandeng teknologi dan memperkenalkan metode seleksi yang lebih transparan dan objektif. Misalnya, ujian berbasis komputer (CBT) dan sistem seleksi yang lebih ketat dengan pengawasan yang lebih transparan. Dengan adanya sistem ini, diharapkan praktik-praktik titipan dan permainan kekuasaan bisa diminimalisir. Namun, untuk benar-benar mengatasi masalah ini, dibutuhkan komitmen kuat dari semua pihak, termasuk pejabat pemerintah, untuk menciptakan sistem yang benar-benar adil dan berdasarkan meritokrasi.